Senin, 14 April 2008

TEKNOLOGI CORONG TINGKATKAN PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP LARVA UDANG GALAH HINGGA 95 %

Harapan untuk meraih keuntungan lebih bagi para pembenih udang galah semakin terbuka. Melalui teknik pembenihan dengan wadah fiber berbentuk kerucut (corong) telah diperoleh derajat sintasan larva udang galah yang menakjubkan. Keberhasilan pencapaian produksi pasca larva siap jual hingga lebih dari 95 persen merupakan prestasi yang telah berulang kali diraih oleh Hatcheri Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar yang bernaung di bawah Pusat Riset Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan

P
roduk utama pada kegiatan pembenihan udang galah adalah udang stadia pasca larva (PL) umur sepuluh hari yang sudah siap tebar baik untuk kolam tawar maupun payau. Umumnya benih ini memiliki panjang total berkisar antara 10 – 11 mm dengan morfologi sudah lengkap seperti udang dewasa. Pada kebanyakan hatcheri udang galah baik milik pemerintah (BBUG, UPUG) maupun swasta derajat sintasan yang dipeoleh masih tergolong rendah, berkisar pada angka 15 – 30 persen. Waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi benih ukuran tersebut juga relatif panjang yaiitu 30 – 35 hari bahkan bisa mencapai 40 hari. Informasi yang penulis peroleh dari beberapa negara yang mengembangkan udang galah seperti Malaysia, Vietnam dan Laos juga menyatakan bahwa sintasan yang diperoleh pada kegiatan pembenihan sangat fluktuatif berkisar antara 20 – 40 persen dengan lama waktu pemeliharaan mencapai 35 hari.
Melalui penerapan intensifikasi dan pemeliharaan dengan wadah berbentuk corong ternyata dapat diperoleh derajat sintasan yang sangat menggembirakan, yaitu berkisar antara 93 – 99 persen. Pertumbuhan larva udang galah juga lebih cepat sehingga waktu yang dibutuhkan juga lebih singkat, yaitu berkisar antara 24 – 26 hari dengan performan benih yang lebih seragam. Tentunya dengan peningkatan kelangsungan hidup dan pengurangan waktu maka keuntungan yang dapat diperoleh juga akan jauh meningkat.

Wadah fiber kerucut : Efisien, praktis dengan kualitas benih seragam
Hatcheri udang galah di Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar Sukamandi memiliki beberapa jenis wadah dengan bentuk dan ukuran yang berbeda. Dari ketiga jenis wadah tersebut keberhasilan yang diperoleh juga nampak berbeda pula. Pemeliharaan larva pada fiber berbentuk corong dengan volume air 50 liter memberikan hasil tertinggi yaitu 93 - 99 % dengan waktu produksi 25 – 28 hari. Pemeliharaan pada gelas fiber berbentuk bulat dengan volume 1.000 liter memberikan hasil sintasan sebesar 20 – 40 % dengan waktu produksi 30 – 35 hari. Sedangkan pemeliharaan pada bak beton dengan volume air 10.000 liter memberikan hasil yang sangat rendah, yaitu 10 % dengan waktu produksi lebih dari 35 hari.
Jumlah fiber berbentuk corong yang dimiliki sebanyak 30 buah, sehingga dengan kapasitas 50 liter per wadah maka total volume media pemeliharaan sebesar 1.500 liter. Dengan penerapan padat tebar 3.000 ekor larva per 50 liter media (corong) maka total larva yang ditebar sebanyak 90.000 ekor. Apabila derajat sintasan rata-rata mencapai 95 % maka total benih yang dapat dipanen sebanyak 85.500 ekor. Harga jual benih ukuran ini (PL-10) adalah Rp. 50 – 55,-per ekor. Apabila nilai jualnya Rp. 50/ekor maka dari kegiatan ini dapat diperoleh nilai penjualan sebesar Rp. 4.275.000,-. Untuk memproduksi benih sejumlah tersebut dibutuhkan artemia sebanyak 3 kaleng (3 x Rp. 300.000,- = Rp. 900.000) dan 10 Kg pakan buatan/egg custard (10 x Rp. 60.000,- = Rp. 600.000,-). Dengan penambahan biaya lain-lain seperti air laut, listrik, plastik, obat-obatan dan bahan sterilisasi sebesar Rp. 500.000,- maka secara sederhana dapat diperoleh margin keuntungan sebesar Rp. 2.275.000,-. Untuk pengelolaan tiga puluh corong tersebut dapat dilakukan oleh satu orang karena pemeliharaannya relatif sederhana dan tidak memerlukan banyak ganti air.
Pada pemeliharaan larva pada wadah berbentuk kerucut kegiatan pembersihan dasar wadah (siphon) relatif mudah karena sisa pakan terpusat di dasar bagian tengah. Efektifitas kegiatan siphon ini menjadikan kualitas air pemeliharaan lebih terjaga sehingga pergantian air dapat dilakukan hanya 2 – 3 kali. Pengurangan volume pergantian air secara idak langsung turut mengurangi biaya produksi. Ruangan yang diperlukan untuk pemeliharaan larva juga relatif kecil yaitu ukuran 4 x 4 m sehingga hatcheri dapat dibangun di samping atau di halaman belakang rumah dengan luasan yang terbatas. Keunggulan lain dari teknik ini adalah benih yang dihasilkan seragam. Pasca larva pertama biasanya terjadi pada hari ke 16 atau 17 dan mencapai lebih dari 50 persen pada hari ke 19. Pada hari ke 20 – 21 hampir semua larva telah mencapai stadia PL. Dengan demikian teknik ini sangat cocok untuk dilakukan baik oleh pembenih skala rumah tangga maupun skala menengah.




Fiber Corong, Tingkatkan kelulusan hidup dan pertumbuhan larva




Kunci kesuksesan pembenihan udang galah

Larva udang galah merupakan organisme yang sangat sensitif dan rentan terhadap perubahan lingkungan. Kegagalan yang sering dialami oleh para pembenih udang galah kebanyakan disebabkan oleh kanibalisme larva dan serangan penyakit. Oleh karena itu untuk mengatasi hal tersebut harus dilakukan beberapa langkah sebagai berikut :
Higienis
Udang galah dalam proses pertumbuhannya selalu dibarengi dengan peristiwa ganti kulit (moulting). Pada kondisi moulting ini larva udang sangat lemah dan rentan terhadap keberadaan patogen. Oleh karena itu maka upaya pencegahan terhadap masuknya agen penyakit harus dilakukan secara disiplin. Hal-hal yang harus selalu dibersihkan dan disucihamakan (desinfektan) adalah alat-alat bantu seperti slang sipon, waskom, gelas pengamatan, sendok, lantai ruangan, dan tentunya tenaga pelaksana. Melalui pencegahan sedini mungkin diharapkan jasad patogen tidak akan masuk ke lingkungan pemeliharaan larva (hatcheri).

Managemen Kualitas Air
Larva udang galah hidup di air payau bersalinitas (kadar garam) 10 – 15 permil, yang dibuat dengan cara mencampurkan sejumlah tertentu air laut dengan air tawar. Sebelum digunakan air harus dipastikan bebas dari jasad renik (mikroorganisme) dengan cara disucihamakan. Metode sterilisasi media pemeliharaan dapat dilakukan baik dengan klorinasi, ozonisasi maupun ultra violet. Sterilisasi dengan kombinasi ultra violet dan ozonisasi dirasa paling efektif. Namun untuk pembenihan skala rumah tangga metode klorinasi (digunakan Natrium Hipoklorit) dipandang lebih memungkinkan karena lebih murah. Sebelum air digunakan sebagai media pemeliharaan larva pastikan terlebih dahulu sudah tidak mengandung residu klrorin. Cara praktis untuk menghilangkan residu klorin adalah dengan cara mengaerasi air selama minimal 24 jam. Untuk lebih amannya dapat dilakukan dengan cara penambahan Natrium tiosulfat. Monitoring kualitas air sebaiknya dilakukan secara periodik untuk menghindari kematian larva karena penurunan kualitas air. Apabila air media sudah mengalami penurunan kualitas maka dapat antisipasi dengan mengganti sebagian air. Untuk para pembenih yang sudah cukup berpengalaman biasanya akan melakukan penggantian air beberapa kali khususnya setelah larva sudah diberi pakan buatan.

Manajemen Pakan
Managemen pakan yang baik merupakan kunci utama dalam pembenihan udang galah. Selama pembenihan larva udang galah diberi pakan berupa naupli artemia dan pakan buatan. Kekurangan jumlah pakan akan menyebabkan larva lambat tumbuh dan terjadinya kanibalisme sesama larva. Sebaliknya pemberian pakan yang berlebih selain akan meningkatkan biaya prodiksi juga akan mengundang resiko penurunan kualitas media pemeliharaan yang memicu berkembangnya jasad patogen dan mengancam kegiatan pembenihan. Teknik pemberian pakan yang baik, waktu dan jumlah pemberian yang tepat serta komposisi nutrien yang seimbang tentunya akan menjamin keberhasilan selama pembenihan udang galah

Udang galah ukuran konsumsi

Pangsa pasar benih

Udang galah (Macrobrachium rosenbergii de Man) merupakan komoditas air tawar yang semakin diminati oleh para pelaku pembudidaya ikan di Indonesia. Nilai ekonomis yang tinggi, teknologi budidaya yang relatif mudah dan permintaan pasar yang masih terbuka luas merupakan daya tarik untuk pengembangan kegiatan komersial. Daya tarik yang besar tersebut mendorong pihak swasta dan pemerintah daerah di Kalimantan Tengah, Muara Enim-Palembang, dan Riau untuk mengembangkan usaha budidaya udang galah dalam kapasitas besar. Kompleksitas masalah yang terjadi pada budidaya udang windu di pantai utara Jawa beberapa waktu yang lalu juga menjadi salah satu faktor pendorong meningkatnya gairah petani udang di Kabupaten Indramayu dan Karawang untuk melakukan usaha pembesaran udang galah. Seiring pesatnya perkembangan usaha pembesaran udang galah maka permintaan benih juga semakin meningkat.
Permintaan benih yang masuk ke Loka Riset PTBPAT sangat besar. Perhimpunan penguasaha ikan di Riau telah menyampaikan permintaan untuk dipasok benih udang galah sebanyak 500.000 ekor per bulan yang diperuntukkan untuk kolam pemeliharaan seluas 500 Ha. Petani di sekitar Jawa Barat (karawang, Bekasi dan Subang) juga menyampaikan pesanan sebanyak 100.000 ekor per bulan. Gerakan pengembangan budidaya udang galah bersama padi yang dikembangkan oleh Balai Pengembangan Teknologi Pertanian Pasar Minggu juga membutuhkan benih tidak kurang dari 500.000 ekor per siklus (4 bulan). Belum lagi para petani udang galah di seputar Sleman, DI Yogyakarta dan Bali yang merupakan sentra pembudidaya udang galah. Dari data Statistik Perikanan Indonesia tahun 2005 dinyatakan bahwa kebutuhan benih udang galah belum mampu dipenuhi oleh semua hatcheri yang ada baik swasta maupun pemerintah. Jadi pangsa pasar untuk benih udang galah masih terbuka lebar bahkan cenderung meningkat.

Penutup
Pembenihan udang galah merupakan peluang usaha yang menjanjikan keuntungan karena selain permintaan benih yang masih tinggi marjin keuntungan yang diperolehpun cukup besar. Untuk meningkatkan produksi hatcheri udang galah dapat ditempuh melalui intensifikasi pemeliharaan dengan menggunakan wadah berbentuk corong.

Penulis : Ikhsan Khasani, Ssi
Peneliti dan Penanggung Jawab Udang Galah Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar Sukamandi, Subang Jawa Barat. E-mail : ikhsankhasani@yahoo.com

Pembenihan udang galah

PEMELIHARAAN LARVA UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii)
SKALA RUMAH TANGGA

Ikhsan Khasani
Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya
Perikanan Air Tawar Sukamandi


PENDAHULUAN

Udang galah merupakan salah satu komoditas unggulan yang sangat digemari masyarakat karena nilai jualnya yang tinggi, cita rasa yang enak serta pangsa pasar yang luas. Daya tarik lain yang dimiliki udang galah untuk dikembangkan secara komersial adalah masih rendahnya tingkat serangan penyakit dan telah tersedianya paket teknologi budidaya dan sarana pendukungnya. Pada lima tahun terakhir komoditas ini mengalami perkembangan yang pesat baik pada skala pembenihan maupun pembesaran.
Ketersediaan benih memegang peranan penting dalam siklus budidaya. Untuk mendukung program pengembangan budidaya udang galah, ketersediaan benih unggul dalam jumlah yang memadai adalah syarat mutlak. Untuk menjamin keberhasilan dalam pembenihan udang galah, hal-hal seperti penentuan lokasi hatchery, penerapan teknologi pembenihan, kemampuan sumberdaya manusia dan pemasaran harus dilakukan secara terpadu.
Larva udang galah dengan sifat biologis yang rentan terhadap serangan penyakit dan perubahan lingkungan, khususnya saat proses ganti kulit (moulting), tentunya memerlukan penanganan yang intensif dalam pemeliharaannya. Untuk mengantisipasi gagalnya kegiatan pembenihan akibat serangan penyakit, maka kegiatan seterilisasi yang meliputi wadah pemeliharaan, air, pakan, peralatan dan larva harus dilakukan dengan baik. Pada makalah ini akan dipaparkan tentang proses pembenihan udang galah skala rumah tangga.


BAHAN DAN TATA CARA
BAHAN
Kegiatan ini dilaksanakan di Hatchery Udang Galah Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar Sukamandi, padabulan Januari 2006 selama satu siklus pembenihan. Adapun bahan dan alat yang dipergunakan adalah :
1. Larva udang galah.
2. Wadah berupa bak fiberglas kerucut bervolume 50 liter sebanyak 6 buah.
3. Pakan berupa naupli Artemia sp., pakan buatan (egg custard), pakan udang 501 (crumble).
4. Water heater thermostat sebagai alat untuk menjaga kestabilan suhu air.
5. Blower, selang aerasi, batu aerasi, ember, seser dan waskom.

TATA CARA
Sebelum memulai kegiatan pembenihan semua peralatan disterilisasi terlebih dahulu dengan pencucian menggunakan larutan klorin dosis 1,5 ppm (1,5 mg/liter). Setelah semua peralatan siap barulah kegiatan pembenihan dimulai.
Induk-induk betina yang telah memijah dan sedang mengerami telurnya dipindahkan dari kolam pemijahan ke dalam bak fiberglas kerucut sebagai bak penetasan. Setiap bak diisi dengan satu ekor induk. Induk-induk yang telornya telah menetas segera dikembalikan ke kolam dan dihitung jumlah larvanya. Media pemeliharaan larva yang digunakan adalah air payau bersalinitas 12 ppt, yang dibuat melalui pencampuran air laut dengan air tawar dengan perbandingan tertentu dan diperiksa/dicek menggunakan refraktometer. Pemeliharaan larva dari masing-masing bak fiberglas kerucut adalah sebanyak 3.500 ekor (kepadatan 70 ekor perliter). Pemeliharaan larva dilakukan selama 30 hari sampai menjadi pasca larva (PL) (Gambar 1).
Gambar 1. Bak-bak fiberglas kerucut tempat pemeliharaan larva.
POKOK BAHASAN

Pemberian pakan
Pakan yang diberikan selama pemeliharaan larva terdiri dari pakan alami, berupa naupli Artemia sp. dan pakan buatan (egg custard). Pakan alami

Pakan Alami
Naupli Artemia sp. merupakan pakan yang terbaik bagi larva udang galah. Disamping nilai nutrisinya yang tinggi, mudah dalam penyediaan dan penyimpanannya, juga memiliki ukuran yang sesuai untuk larva udang galah. Untuk mendapatkan naupli Artemia sp. dengan kualitas baik beberapa hal perlu diperhatikan, seperti kemasan produk dan daya tetas. Sterilisasi terhadap telur (cyst) Artemia sp. juga harus dilakukan untuk mengantisipasi masuknya jamur dan bakteri. Sterilisasi dilakukan dengan cara perendaman dalam larutan klorin. Untuk mengurangi kotoran dan cangkang telur Artemia sp., maka teknik pemenenan harus dilakukan dengan baik dan benar.
Pemberian pakan dilakukan setelah larva berumur 3 hari dengan frekuensi 2 kali sehari yaitu pagi dan sore hari. Untuk mengetahui jumlah sisa pakan Artemia sp. dalam bak pemeliharaan larva, maka sebelumnya diperiksa terlebih dahulu dengan cara mengambil air sampel media pemeliharaan larva dengan menggunakan gelas bening sehingga naupli Artemia sp. terlihat masih tersisa ataukah telah habis. Kebutuhan larva udang galah akan naupli Artemia sp. semakin meningkat seiring bertambahnya umur larva. Jumlah kebutuhan naupli Artemia sp. perharinya yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan larva udang galah.
Tabel 1. Kebutuhan naupli Artemia sp. setiap ekor larva udang galah perhari.
Umur larva (hari)
Jumlah kebutuhan naupli Artemia sp.
perekor larva perhari
3
5
4 - 6
10
7
15
8
20
9
25
10 - 11
30
12
35
13 – 14
40
15 – 24
45
25 – 30
50
30 (pascalarva)
45
Sumber : AQUACOP, 1983

Pakan Buatan
Pakan buatan diberikan setelah larva memasuki stadium 7, berumur 9-10 hari. Adapun formulasi pakan buatan terdiri dari tepung terigu, susu bubuk, telur ayam, ikan gabus atau cumi-cumi dan vitamin (merek ”Scott Emulsion”). Ukuran dan dosis pakan harus disesuaikan dengan umur larva. Ukuran pakan yang sesuai dapat diperoleh denagn meggunakan saringan berukuran tertentu. Beberapa ukuran saringan dan dosis menurut umur larva dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Dosis pemberian pakan dan ukuran saringan berdasarkan umur larva.
Umur larva (hari)
Ukuran mesh saringan (cm)
Dosis
(mg/ekor/berat kering)
12
16
70
13
16
80-90
13-14
8
100-180
25-30
8
200
30
8
200
Sumber : AQUACOP, 1983

Setelah pakan buatan diberikan, maka frekuensi pemberian pakan ditingkatkan menjadi 5 kali sehari, yakni pada pukul 07.00 diberikan pakan berupa naupli Artemia sp.; pukul 10.00 diberikan pakan buatan berupa egg custard; pukul 12.00 diberikan pakan berupa egg custard; pukul 14.00 diberikan pakan berupa egg custard dan pada pukul 16.00 setelah penyiponan diberikan pakan berupa naupli Artemia sp.

Penyiponan dan Penggantian Air
Penyiponan dilakukan dengan maksud untuk menjaga kualitas air agar tetap layak bagi larva udang galah. Penyiponan dilakukan setiap hari, pada sore hari setelah larva diberi pakan buatan agar kotoran dan sisa pakan habis terbuang sehingga tidak timbul amoniak. Penggantian air baru dilakukan setelah larva telah memakan pakan buatan, maksimum 2 hari sekali. Penggantian air dilakukan agar kadar amoniak, nitrit dan nitrat tidak melebihi ambang batas, sehingga tetap layak untuk kehidupan larva udang galah.



Pemanenan
Produk yang diharapkan dari kegiatan pembenihan udang galah adalah pascalarva. Pemanenan dilakukan setelah 80 % dari larva telah menjadi pascalarva. Pemanenan dilakukan dengan menggunakan selang sipon berdiameter 1 cm. Pemanenan harus dilakukan secara hati-hati dengan aerasi dimatikan terlebih dahulu agar larva dan pascalarva tidak mengalami stress. Peralatan yang dipergunakan dalam kegiatan pemanenan antara lain adalah selang sipon, seser dan waskom (Gambar 2).
Untuk menjaga agar pascalarva tetap dalam kondisi sehat maka suhu dan salinitas media penampungan harus sama dengan media pemeliharaan, yaitu 12 ppt dan suhu 29-31 oC. penurunan salinitas dilakukan secara bertahap, maksimum 2-3 ppt perhari hingga mencapai 0 ppt (air tawar). Setelah pascalarva berumur 10 hari (PL10), maka siap untuk ditebar di kolam ataupun tambak. Dari percobaan tersebut telah diperoleh hasil larva/pascalarva yang cukup tinggi dan seragam (Gambar 3). Hasil pascalarva tersebut tertera pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil pemanenan.
No. fiberglas
1
2
3
4
5
6
Tgl penebaran
04-01-06
04-01-06
04-01-06
04-01-06
04-01-06
04-01-06
Jumlah tebar
3.500
3.500
3.500
3.500
3.500
3.500
Tgl. Pasacalarva pertama
23-01-06
23-01-06
24-01-06
24-01-06
23-01-06
23-01-06
Jumlah pascalarva
2.006
2.249
2.427
2.649
2.419
2.507
Jumlah larva
316
332
552
207
315
328
Total
2.322
2.581
2.979
2.856
2.734
2.835
SR
66,35
73,77
85,01
81,03
78,01
81,00













Slang siphon
Seser
Waskom

Gambar 2. Proses pemanenan pasca larva.


A
B












Gambar 3. larva (A) Pasca larva (B) dan udang galah.












KESIMPULAN

Ø Kunci keberhasilan dalam kegiatan pembenihan udang galah adalah pengetahuan tentang aspek biologis larva, penerapan sanitasi, higiene dan teknologi serta efisiensi pengelolaan.
Ø Mampu diperoleh pascalrva dalm jumlah yang cukup tinggi ( rata-rata SR 75 %) dengan waktu yang relatif singkat (30 hari) sehingga sesuai untuk kegiatan pembenihan skala rumah tangga.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Y. 1990. Artemia : Penggunaan di Pusat Pembenihan Udang Galah dan Ikan. Jabatan Perikanan Kementerian Pertanian Malaysia. Kuala Lumpur. 42 hal.

Ismail, W., D. Satyani. 1988. Operasional pembenihan udang galah. PUSLITBAGKAN. Departemen Pertanian. Jakarta.

Khasani, I. 2003. Upaya peningkatan produksi udang galah melalui optimalisasi lingkungan pemeliharaan. Warta Penelitian Perikanan Indonesia Vol. 9 No. 3 2003.

Pembesaran udang galah

UPAYA PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DALAM USAHA PEMBESARAN
UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii de Man)

Ikhsan khasani
Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar


ABSTRAK

Budidaya udang galah mengalami perkembangan yang cukup pesat, khususnya pada sektor pembesaran. Namun demikian, pada kondisi lapang masih sering muncul berbagai kendala, disebabkan belum tersosialisasikan sistem budidaya dan kurangnya penguasaan teknologi spesifik dalam budidaya udang galah. Oleh karena itu, sosialisasi teknologi tepat guna dalam mendukung perkembangan udang galah menjadi hal yang sangat penting dalam rangka lebih dimengertinya sistem budidaya udang galah. Upaya peningkatan produktivitas dalam usaha pembesaran udang galah dapat dilakukan dengan penerapan intensifikasi pemeliharaan dan pengembangan sentra budidaya.
Kata kunci: Produktivitas, pembesaran, sentra budidaya, teknologi spesifik

PENDAHULUAN

Udang galah merupakan komoditas perikanan air tawar yang sangat potensial untuk dibudidayakan secara komersial (New 2002). Pertumbuhan yang cepat, ukuran yang besar, tingkat prevalensi penyakit yang rendah, dan permintaan pasar yang luas, baik pasar domestik maupun ekspor, merupakan potensi yang menjadikan komoditas ini memegang peran penting dalam usaha budidaya perikanan air tawar di Indonesia. Sosialisasi prospek dan teknologi budidaya melalui berbagai media ternyata cukup efektif dalam mendorong perkembangan komoditas yang mendapat sebutan “Babby Lobster” ini. Perkembangan yang sangat menggembirakan adalah dengan dibukanya kawasan budidaya dalam luasan yang besar mencapai 500 Ha di Muara Enim (Palembang) dan kepulauan Riau yang diharapkan dapat mendongkrak citra udang tawar hingga mampu sejajar dengan komoditas udang payau, seperti udang vaname dan udang windu.
Selain usaha pembesaran dalam skala besar oleh pengusaha dengan teknologi dan modal memadai, ternyata budidaya udang galah juga mulai menjadi alternatif pilihan bagi para petani ikan skala pedesaan di beberapa daerah seperti Kabupaten Pekalongan, Banyumas, Subang, Indramayu, Karawang, dan Bekasi. Keterbatasan pengetahuan mengenai bagaimana teknologi budidaya yang efektif dan ekonomis merupakan salah satu permasalahan yang perlu segera dipecahkan sehingga kegiatan budidaya yang sudah ada dapat lebih berkembang. Rangkaian langkah berikut merupakan solusi untuk menuju keberhasilan usaha pembesaran udang galah, yaitu: optimalisasi kondisi kolam, penggunaan benih unggul, penggunaan naungan (shelter), monitoring kualitas air secara periodik, penyeragaman ukuran benih, pemeliharaan benih tunggal kelamin, penggunaan jenis pakan dan sistem pemberian yang tepat, serta pengembangan sentra budidaya.
OPTIMALISASI KONDISI KOLAM
Udang galah merupakan biota air tawar yang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan sehingga memerlukan penanganan spesifik dalam pemeliharaannya. Kualitas air untuk budidaya udang galah dapat dikatakan harus lebih bagus dari komoditas ikan tawar lainnya, karena udang sangat sensitif dan mudah stress terhadap menurunnya kualitas air. Fenomena pergantian kulit (moulting), yang merupakan rangkaian proses udang untuk tumbuh (Mente, 2003; New & Vallenti, 2004), berdampak pada melemahnya kondisi udang. Kondisi tersebut menyebabkan udang semakin sensitif terhadap menurunnya kualitas lingkungan hidupnya. Untuk memenuhi kebutuhan lingkungan optimal bagi kehidupan udang galah maka rangkaian pengolahan kolam harus dilakukan secara seksama.
Pengolahan dasar kolam merupakan langkah awal yang akan menentukan berhasil tidaknya kegiatan budidaya. Pengetahuan mengenai derajat keasaman tanah, komposisi dan tekstur tanah kolam akan sangat membantu dalam upaya pengolahan kolam. Secara umum udang lebih menyukai dasar kolam yang sedikit berlumpur dan tidak porous (Anonim, 2003). Lumpur yang dalam merupakan kondisi yang tidak menguntungkan sehingga pengangkatan lumpur dari dasar kolam, setelah satu siklus kegiatan pembesaran selam 4 – 6 bulan, merupakan kegiatan primer yang akan lebih menjamin keberhasilan usaha budidaya. Udang galah bersifat bentik (New 2002), yaitu hidup di dasar kolam, sehingga udang akan mengonsumsi pakan yang jatuh ke dasar. Cara udang mengambil pakan juga unik, yaitu dengan menggunakan kaki jalan kedua sehingga memerlukan waktu yang cukup lama dibandingkan dengan ikan pada umumnya. Kebiasaan hidup udang tersebut menjadikan lumpur kolam yang tebal sebagai masalah yang serius dalam usaha pemeliharaan udang galah. Kondisi lumpur dasar kolam yang tebal sangat menghambat pertumbuhan udang karena pakan yang lolos dan terjebak dalam lumpur akan mempercepat penimbunan bahan organik, yang disusul oleh proses biodegradasi oleh bakteri. Proses biodegradasi bahan organik akan menghasilkan senyawa racun, seperti amonia dan nitrit (Boyd, 1990; Cheng et al., 2002; Foss et al., 2003) yang membahayakan kehidupan udang. Bakteri pendegradasi bahan organik juga mengonsumsi oksigen terlarut dalam jumlah yang besar, sehingga kondisi kualitas air kolam semakin menurun.
Dalam proses pengolahan dasar kolam, pengapuran juga sering kali harus dilakukan. Kegiatan pengapuran dilakukan setelah dasar kolam digemburkan dan diratakan. Pengapuran selain berfungsi untuk meningkatkan kebasaan kolam, supaya mencapai kondisi optimal (pH 7–8,5), juga berfungsi membunuh telur-telur ikan predator dan jamur. Dosis yang dianjurkan dalam kegiatan pengapuran adalah 600 – 1000 Kg/ha (Alimon, 2005)
Udang galah dengan beberapa tingkah laku khas, seperti gerakan yang lambat, kebiasaan makan yang lambat, dan proses moulting menjadikan banyak biota lain berpotensi sebagai kompetitor dan atau predator baginya. Oleh karena itu, pematang yang bersih akan membantu dalam mengontrol keberadaan predator, seperti ular, musang, dan burung. Pematang juga harus dipelihara dengan baik sehingga terhindar dari kebocoran-kebocoran, yang akan membuka peluang masuknya ikan yang dapat menjadi kompetitor atau pemangsa. Pada kolam pembesaran udang galah seringkali didapati berbagai jenis ikan, seperti nila, gabus, dan lele, yang menyebabkan udang galah jat sintasan rendah.
Pemupukan merupakan proses penyediaan pakan alami bagi benih udang galah. Udang muda sampai dewasa memiliki kebiasaan mengaduk-aduk dasar kolam untuk mendapatkan makanan alami, seperti cacing dan kerang-kerangan. Benih udang ukuran 1 – 3 g ternyata tumbuh lebih cepat dalam kolam yang sebelumnya dilakukan pemupukan dari pada kolam tanpa pemupukan (Khasani, 2004). Selain untuk menumbuhkan pakan alami, berupa fitoplankton dan zooplankton, pemupukan juga berfungsi mengurangi tingkat penetrasi cahaya matahari, sehingga dapat menghambat perkembangan lumut di dasar kolam, serta menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi kehidupan udang, yang lebih menyukai daerah yang tersembunyi dan relatif gelap. Kegiatan pemupukan biasanya dilaksanakan 7 – 10 hari sebelum benih ditebar, dengan menggunakan kotoran ayam kering dengan dosis 100 Kg/ ha, yang diikuti 15 Kg/ha urea dan 10 Kg/ha TSP (Alimon, 2005). Kompos dengan kualitas bagus dan siap digunakan juga telah beredar di pasaran kawasan Jabotabek. Kompos digunakan saat persiapan kolam dan beberapa kali pada satu bulan pertama masa pemeliharaan sehingga pakan alami, khususnya jasad bentik, tersedia di kolam. Berdasarkan pengalaman beberapa petani udang galah binaan LIPI Cibinong-Bogor, pemupukan dengan kompos komersial tersebut (Gambar 1) mampu menjamin ketersediaan pakan alami, sehingga dalam tahap pendederan dan pembesaran satu bulan awal tidak diperlukan pakan tambahan/buatan (Ali, 2004, komunikasi personal).












Gambar 1. Produk kompos kemasan, sebagai komponen
pembuat air hijau dan penyediaan pakan alami


PENGGUNAAN BENIH UNGGUL
Benih memegang peranan yang sangat vital dalam menunjang keberhasilan kegiatan pembesaran udang galah. Secara umum, benih dikatakan unggul apabila memiliki tingkat pertumbuhan yang cepat, daya adaptasi lingkungan yang baik, serta memiliki tingkat ketahanan yang tinggi terhadap insidensi penyakit. Secara sederhana, untuk memperoleh benih unggul adalah dengan mengetahui asal induk yang digunakan dan sistem pembenihannya. Kenampakan visual benih yang baik adalah tidak cacat atau necrosis, dan lincah atau aktif berenang apabila dipindahkan ke wadah lain. Benih unggul akan lebih mudah diperoleh pada unit pembenihan dan pendederan dengan sarana yang memadai, dengan dukungan sumber daya pelaksana yang cakap. Hal tersebut, disebabkan pada sistem pemeliharaan intensif pakan yang diberikan memiliki kualitas baik.
Penggunaan benih yang sudah cukup umur, seperti yang dihasilkan dari kegiatan pendederan selama 30 – 60 hari (ukuran 1 – 5 g) juga akan lebih menjamin keberhasilan dalam usaha pembesaran (Hadie, dkk., 1997). Benih dengan ukuran tersebut akan lebih mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan, serta lebih memiliki kemampuan menghindar dari predator dibandingkan dengan benih dengan ukuran yang lebih kecil (PL 15).
Benih juga dinyatakan lebih baik kualitasnya apabila memiliki ukuran seragam. Benih dengan ukuran yang seragam diharapkan memiliki kemampuan yang sama dalam mendapatkan pakan, sehingga dapat dicapai ukuran panen yang seragam pula. Biasanya benih dengan ukuran tebar lebih besar akan cenderung tumbuh lebih cepat, sehingga memacu munculnya sifat kanibalisme terhadap benih dengan ukuran lebih kecil.
PENGGUNAAN SUBSTRAT BUATAN
Dalam usaha pendederan dan pembesaran udang galah, keberadaan tempat naungan, atau shelter, bagi udang galah sangat penting. Shelter diperlukan untuk persembunyian udang yang sedang moulting, sehingga mampu mengurangi tingkat kanibalisme, dan memperluas area untuk udang menempel. Ketika kadar oksigen terlarut di dasar kolam sangat rendah, shelter juga sangat diperlukan oleh udang. Pada kondisi tersebut, sebagian besar udang akan berada di permukaan shelter yang dekat permukaan air, sehingga udang dapat memperoleh lingkungan dengan kandungan kadar oksigen terlarut lebih tinggi.
Bentuk dan bahan shelter cukup beragam. Umumnya petani menggunakan pelepah daun kelapa atau pohon palem sebagai shelter. Namun demikian, penggunaan shelter dari daun kelapa dan palem dirasa kurang bagus. Bahan tersebut cepat busuk sehingga berpotensi mengotori kolam, mudah tenggelam sampai dasar kolam sehingga akan tertimbun oleh endapan lumpur, serta kurang efektif dalam menyediakan ruang yang nyaman bagi udang yang berganti kulit. Berdasarkan serangkaian penelitian dan pengujian, sekarang telah diperoleh tipe shelter yang optimal dalam pemeliharaan udang galah, yaitu shelter tipe bertingkat atau dikenal sebagai ”appartement shelter”. Menurut Ali, 2004 (Komunikasi personal) pemeliharaan udang galah di kolam dengan luasan 500 m2, yang didalamnya ditempatkan shelter bambu bentuk apartemen, telah berhasil diperoleh hasil panen udang galah sebanyak 350 Kg, dengan size 30. Melalui penempatan shelter bambu bertingkat sebanyak 75 % luasan kolam (Gambar 3), maka kepadatan tebar benih juga dapat ditingkatkan hingga mencapai 25 ekor/m2. Hasil panen yang diperoleh tersebut tergolong sangat tinggi dibandingkan pada pemeliharaan udang galah dengan bentuk shelter sederhana, dan luas shelter 20% luasan kolam. Budiman (2004) menyatakan bahwa rata-rata produksi udang galah pada kolam seluas 700 – 1000 m2 baru mencapai 150 – 250 Kg. Menurut Tidwell et al. (2002), penempatan naungan buatan pada kolam pemeliharaan udang galah akan mampu meningkatkan padat penebaran, sehingga produksi yang diperoleh juga meningkat.











(a) (b)

Gambar 2. Kolam udang galah dengan shelter (a) dan tipe shelter bambu bertingkat “appartement shelter” (b)

MONITORING KUALITAS AIR SECARA PERIODIK
Kualitas air memegang peranan yang sangat penting bagi kehidupan udang yang dipelihara. Air kolam dikatakan baik apabila mampu menunjang kehidupan ikan atau udang yang dipelihara (Huet, 1979; Boyd, 1990). Timbulnya penyakit pada pemeliharaan udang biasanya diawali dengan kualitas air kolam yang kurang baik. Kondisi tersebut umumnya disebabkan oleh padat penebaran yang terlalu tinggi, dan penggunaan pakan buatan yang kurang tepat. Secara umum, parameter fisika-kimia air yang memengaruhi kehidupan ikan atau udang meliputi suhu, kesadahan, oksigen terlarut, karbondioksida bebas, pH, kadar amonia, dan nitrit (Boyd, 1981; Cheng et al. 2002; Foss et al. 2003). Tingkat kehilangan pakan (pakan tidak terkonsumsi) yang tinggi menyebabkan kualitas air mengalami penurunan yang cepat, yang ditandai dengan kadar amonia dan nitrit yang tinggi. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka pergantian air merupakan hal yang harus dilakukan secara rutin, khususnya pada budidaya udang galah skala semi intensif dan intensif. Melalui pergantian air secara rutin, diharapkan kolam terhindar dari akumulasi limbah sisa pakan, yang mengganggu kehidupan udang. Pada pemeliharaan udang secara intensif, kandungan oksigen terlarut yang rendah juga harus dihindari. Bebarapa cara dapat ditempuh untuk menciptakan kadar oksigen tinggi, diantaranya dengan menempatkan beberapa kincir, atau memodifikasi air masukan dengan sistem pancuran air (Gambar 3). Menurut Wynne (2000), kondisi optimal untuk pemeliharaan udang galah adalah: suhu air antara 27 – 30 oC, oksigen terlarut minimal 3 mg/l; kesadahan 20 – 200 mg/l; dan pH 7,0 – 8,5. Sementara itu, batas kadar amonia (NH3) yang aman bagi pertumbuhan udang adalah di bawah 0,1 mg/l. Kadar amonia yang mencapai 0,6 mg/l dapat mematikan udang dalam waktu singkat (Boyd, 1990).



















Gambar 3. Kolam pemeliharaan udang galah dengan sistem pancuran air menggunakan pompa submersible, sebagai sarana suplai oksigen



Melalui pemberian pakan yang tepat serta masukan air yang terjaga diharapkan kualitas air akan tetap terjamin hingga pemeliharaan udang berjalan dua bulan. Apabila kualitas air masih baik, maka penggunaan kincir belum diperlukan. Namun demikian, setelah udang tumbuh mencapai ukuran 10 gram, dengan jumlah pakan yang tinggi, mekanisme suplai oksigen ke air harus dilakukan. Kondisi kualitas air yang kurang baik diindikasikan dengan banyaknya udang yang menempel di pematang kolam atau di atas shelter, khususnya di pagi hari. Dalam kondisi demikian, maka pemasangan kincir air atau sistem air pancuran harus dilakukan.
Monitoring kualitas air bagi pembudidaya dengan luasan cukup besar dapat dilakukan dengan berbagai alat dan indikator kit yang telah ada. Monitoring parameter oksigen terlarut, kadar amoniak, dan nitrit sebaiknya dilakukan setiap hari pada pagi hari. Sementara bagi pembudidaya dengan luasan dan modal terbatas monitoring kelayakan air kolam dapat dilakukan secara sederhana, dengan cara mengamati perilaku udang, serta warna dan bau air, terutama di pagi hari.
PENYERAGAMAN UKURAN DAN MONOSEKS
Meskipun kita telah menggunakan benih dengan ukuran seragam, namun pada perkembangannya udang yang kita pelihara akan mengalami variasi ukuran. Udang galah jantan biasanya akan cenderung tumbuh lebih cepat dibandingkan betinanya. Kegiatan grading dapat dilaksanakan setelah pembesaran sudah berjalan sekitar dua bulan, dimana udang sudah mencapai ukuran 6 – 7 g dan cukup mudah untuk dibedaan antara jantan dan betina (Sagi et al, 1985; Dewi et al., 2006). Menurut Tidwell et al, (2002) melalui program size-grading akan diperoleh total panen yang lebih tinggi serta rata-rata berat yang seragam. Program grading juga dilakukan untuk mendapatkan populasi udang dengan kondisi tunggal kelamin (monoseks) jantan. Menurut Sagi et al, (1985 ) melalui pemeliharaan udang galah tunggal kelamin jantan diperoleh peningkatan total produksi yang cukup besar, yaitu dari 2500 – 3000 kg/ha (campur jantan-betina) menjadi 4700 kg/ha (tunggal kelamin jantan) dengan periode pemeliharaan yang sama, yaitu 150 hari.
Melalui pemeliharaan sistem monoseks kemungkinan diperoleh udang dengan ukuran lebih besar juga akan lebih cepat, sehingga petani akan memperoleh harga jual udang lebih tinggi. Harga udang galah di pasar lokal untuk ukuran 30-40 g /ekor adalah Rp. 20.000 – 25.000, sementara udang dengan ukuran mencapai 75 – 100 g (10 –15 ekor/kg) bisa mencapai Rp. 40.000 – 50.000,-/kg, berdasarkan observasi pasar ikan Kabupaten Karawang, Banyumas dan Bandung. Secara umum ikan yang dipelihara secara monosesk akan tumbuh lebih cepat, karena energi yang dimiliki akan digunakan secara maksimal untuk pertumbuhan, sementara dalam pemeliharaan campur sebagian energi akan digunakan untuk proses reproduksi.

PENGGUNAAN PAKAN DAN SISTEM PEMBERIAN YANG TEPAT
Selain memanfaatkan keberadaan pakan alami, selama pemeliharaan udang galah perlu diberikan pakan tambahan, berupa pelet udang dengan kadar protein 28 - 32%. Kesuburan pakan alami sangat dipengaruhi oleh tingkat kesuburan perairan kolam sehingga pemanfaatan pakan alami secara mutlak hanya dapat dilakukan untuk budidaya udang galah dengan kepadatan rendah. Untuk mendapatkan produksi yang maksimal maka penggunaan pakan yang berkualitas dan sistem pemberian yang tepat merupakan prosedur yang harus dijalankan dalam budidaya sistem intensif dan semi intensif (Tidwell et al, 2002). Menurut Wynne (2000) pakan harus diberikan merata keseluruh luasan kolam. Pada pemeliharaan secara monokultur jumlah pakan tambahan yang diberikan sejumlah 20% pada dua minggu pertama, menurun sampai 5% dari berat badan total populasi, dengan frekuensi pemberian 4 - 5 kali sehari. Sementara itu, pada pemeliharaan secara polikultur jumlah pakan tambahan yang diberikan mulai 6% menurun sampai 3% dari berat badan total populasi, dengan frekuensi pemberian 4 - 5 kali sehari (Anonim, 2003). Oleh karena sifat makan udang yang lambat maka pakan yang digunakan harus memiliki kestabilan yang tinggi di air, sehingga akan efektif dikonsumsi oleh udang. Untuk mengetahui respon udang terhadap pakan yang diberikan maka penempatan anco di setiap sudut kolam sangat diperlukan. Selain sebagai sarana untuk mengecek efektivitas dan kualitas pakan yang digunakan, anco juga merupakan alat bantu untuk mengetahui kondisi dan ukuran udang.
PENGEMBANGAN SENTRA BUDIDAYA UDANG GALAH

Keluhan dan perasaan cemas tentang sulitnya mendapatkan harga jual udang yang pantas masih dirasakan oleh banyak pembudidaya udang galah skala kecil. Sedikitnya hasil panen dan produk yang tidak kontinyunya merupakan kendala bagi pembudidaya untuk menjual udang yang dipanen ke pengusaha Cold storage, yang diharapkan mau membeli udang konsumsi dengan harga tinggi. Di beberapa daerah seperti Kabupaten Subang, Karawang dan Purwokerto pasar lokal hanya menghargai udang galah sekitar Rp. 20.000,-/Kg untuk udang dengan ukuran 25 – 30 g. Kondisi yang kurang nyaman tersebut perlu segera dicari solusinya, supaya gairah untuk membudidayakan udang galah dapat terus ditingkatkan. Pangsa pasar ekspor yang menjanjikan harga yang tinggi harus lebih ditangani secara serius, yaitu melalui pembinaan secara intensif sampai terbentukya kelompok pembudidaya dengan penguasaan teknologi budidaya yang baik dan luasan kolam budidaya yang memadai, sehingga mampu menjamin persyaratan cold storage atau eksportir. Iklim budidaya udang galah yang mapan seperti di Jogyakarta dan Bali kiranya perlu dijadikan acuan bagi pengembangan kawasan budidaya udang galah di daerah lain.


PENUTUP
Peluang untuk meningkatkan produktivitas budidaya udang galah di Indonesia dapat ditempuh melalui beberapa jalur, yaitu intensifikasi dengan penerapan teknologi budidaya yang baik dan ekstensifikasi melalui pengembangan kawasan sentra budidaya udang galah.
DAFTAR PUSTAKA

Alimon, S. 2005. Pond preparation and water management. Malaysia Techniical Cooperation Programmed. Departement of Fisheries, Ministry of Agriculture and Agro-Based Industry. Malaysia. 16 p.

Anonim. 2003. Teknik Pembesaran Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii de man)Informasi teknologi. Balai Budidaya Air Tawar Sukabumi. Departemen Kelautan dan Perikanan republik Indonesia. 10 hal.

Boyd, C.E. 1981. Water Quality in Warm Water Fish Pond. Auburn University. Auburn-Alabama. 358 p.

-----------. 1990. Water quality in pond for aquaculture. Birmingham Publishing Company, Alabama. 147 p.

Budiman A. A., 2004. Perkembangan Udang GIMacro di Indonesia. Temu Nasional Udang Galah GIMacro di Yogyakarta, 22 – 23 Juni 2004. 11 hal.

Cheng W., Su-Mei Chen, Feng-I Wang, Pei-I Hsu, Chun-Hung Liu, & Jiann-Chu Chen. 2002. Effect of temperature, pH, salinity and ammonia on the phagocytic and clearance efficiency of giant freshwater prawn Macrobrachium rosenbergii to Lactococcus garvieae. Aquaculture 219: 111–121 pp.

Dewi, R.R.S.P.S., I. Khasani, Sularto, W. Pamungkas. 2006. Production of female giant freshwater prawn (Macrobrachium rosenbergii) through hormonal induction. Indonesian Aquaculture Journal 1 (1): 35 - 38 pp.

Foss, A., T. Vollen, & V. Oiestad. 2003. Growth and oxigen consumption in normal and O2 supersaturated water, and interactive effects of O2 saturation and ammonia on growth in spotted wolfish (Anarhichas minor Olafsen). Aquaculture 224: 105-116 pp.

Hadie, W, L.E. W. Hadie. 1997. Hilangnya benih dalam budidaya udang galah (Macrobrachium rosenbergii) dan dugaan factor penyebabnya. WPPI. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. 17 – 21 pp.

Huet, M. 1979. Text Book of Fish Culture Breeding and Cultivation of Fish. Fishing news. London. 436 p.
Khasani, I. 2004. Peningkatan produksi massal benih udang galah GiMacro. Laporan Hasil Penelitian. Loka Riset Pemuliaan dan Teknolohi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi. 7 hal.

Mente, E. 2003. Nutrition, physiology, and metabolism of crustaceans. Science Publisher, inc, Enfield. 126 p.

New, M.B. 2002. Farming freshwater prawn, a manual for the culture of giant river prawn (Macrobrachium rosenbergii ). FAO Fisheries Technical Paper, Rome, 207 p.

New, M.B. & W.C. Valenti. 2004. Freshwater prawn culture: The farming of Macrobrachium rosenbergii . Blackwell Science, Oxford. 435 p.

Sagi A., Z. Ra’anan, Cohen and Y. Wax. 1985. Production of Macrobrachium rosenbergii in monosex opulations: Yield characteristics under intensive monoculture condition in cages. Elsevier Science Publisher B.V., Amsterdam. 32 – 40 pp.

Tidwell J.H., S. Coyle, M.R. Durborow, S. Dasgupta, and W.A. Wurts, 2002. The Malaysian Freshwater Prawn. The Kentucky State University Aquaculture Program. 45 p.

Wynne F., 2000. Grow-out culture of freshwater prawn in Kentucky. Kentucky State University Cooperative Extension Program, Graves Country Cooperative Extension Service. 9 p.